Dibawah pemerintahan Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun mampu melahirkan kitab Undang-undang 'Simbur Cahaya' yang merupakan hukum adat tertulis dan berlaku di seluruh wilayah Sumatra Selatan saat itu. Disekitar makam ini juga terdapat pemakaman umum buat penduduk asli daerah tersebut. Untuk menuju ke tempat ini dapat mi akses melalui dua jalan, Jalan Sabokingking dan Jalan Arafuru. Makam Sabokingking ini merupakan makam tertua para raja atau pangeran di Palembang. Di makam ini disemayamkan Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), Sido Ing Pasaeran atau Jamaluddin Mangkurat I (1630-1652), Ratu Sinuhun- penulis kitab Simbur Cahaya- serta imam kubur Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Shahab, serta Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman.
Sabokingking
Sabokingking adalah sebuah makam kerajaan. Nama
sabokingking ini berasal dari bahasa sanskerta. Sama dengan kerajaan Majapahit
nama rajanya adalah Hayam Wuruk. Sedangkan Sabokingking di pimpin oleh seorang
raja yang bernama Pangeran Sido Ing Kenayan. Pangeran ini berasal dari Jawa.
Dan istrinya yang bernama Ratu Sinuhun . Pangeran ini memiliki seorang guru
spiritual atau penasihat yang bernama Habib Muh. Nuh. Berdirinya kerajaan ini,
berdasarkan ahli arkeologi diperkirakan sekitar tahun 1616-1628. Pangeran Sido
Ing Kenayan ini merupakan penyebar atau pengembang agama islam yang ada di
Palembang,Sumatera Selatan. Berkat perjuangannya, sekitar 80-85% rakyat di
Palembang ini beragama islam. Sedangkan istri pangeran atau Ratu Sinuhun juga merupakan pembuat peraturan-peraturan
Simbur Cahaya.
Artinya adalah salah satu peraturan hukum-hukum adat yang
ada di Sumatera Selatan ini. Karena pada zaman dahulu belum ada hukum
pidana,hukum perdata, dan hukum-hukum seperti yang ada saat sekarang ini.
Yang ada pada Simbur Cahaya adalah hukum adat. Hukum
adat ini berisi tentang cara-cara kaum wanita dan laki-laki melakukan
pernikahan, melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, dan
tradisi-tradisi lainnya. Apabila ingin lebih jelas lagi, lihat prasasti yang
telah disahkan dan diakui oleh pemerintah, ahli-ahli arkeologi, dan Negara yang
ada di depan.
Setelah Pangeran ini wafat, digantikan oleh anaknya yang
bernama Pangeran Sido Ing Rajek yang kuburannya ada di Sako Tigo,
Indralaya. Dan setelah masa jabatan keturunan-keturunan ini berakhir, sekitar
150-200 tahun muncullah Sultan Mahmud Badaruddin, jadi SMB itu dibawah dari
kerajaan Sabokingking ini. Diatas Makam Sabokingking ini adalah Bukit Besar
yang lebih condong ke agama Hindu. Pada kerajaan ini, sebelum Raja Aryo Damar
menjadi penganut islam, disana dulu sebagai pusat agama Hindu yaitu yang bernama
Shakyakirti dan Dharmapala. Jadi, sampai sekarang Shakyakirti dan Dharmapala
namanya di abadikan. Setelah Aryo Damar masuk islam, maka berubahlah nama
beliau menjadi Abdilla . Karena orang Palembang menyebutnya Aryodilla, itulah
sebabnya ada jalan yang namanya Aryodilla.
Akhirnya, kerajaan Sriwijaya muncul. Setelah itu, Sriwijaya
runtuh masuklah Sabokingking ini dan menyebarkan agama islam. Akhirnya
berkuranglah penganut-penganut agama Hindu dan yang terbanyak agama islam,
termasuklah rajanya yang bernama Aryo Damar tadi memeluk agama islam. Dan yang
dapat dibuktikan oleh ahli arkeologi, sebelum Aryo Damar menjadi islam,
terdapat kuburan-kuburan yang menghadap ke arah timur,utara,selatan. Setelah
Aryo Damar masuk islam, kuburan-kuburan pun akhirnya menghadap kiblat (barat)
bagi orang-orang yang beragama islam. Kompleks Makam Sabokingking juga terdapat
di dalam kawasan PT Pusri.
Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Pangeran
Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah Raja Palembang yang
menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M) dan kedudukannya
kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean (1642-143
M). Makam ini berdampinngan dengan makam istri Pangeran Sido Ing Kenayan,
yaitu Ratu Sinuhun. Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja, Habib
Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab. Hingga kini, Ratu Sinuhun
diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut
Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. Ada pula
keyakinan, Simbur Cahaya adalah pengesahan hokum adat (lisan) yang pada masa
itu berlaku sudah berlaku pada masyarakat pedalaman Sumatera Selatan. Simbur
Cahaya, pada dasarnya memang mengatur rakyat di luar Palembang atau dikenal
dengan istilah uluan. Aturan adat ini berlaku hingga ratusan tahun sampai UU
No. 5 Tahun 1979 berlaku efektif di Sumatera Selatan.
Sebelumnya, Simbur Cahaya terdiri atas lima bab ini juga
telah membentuk pranata hukum dan kelembagaan di Sumatera Selatan. Sebuah
batu diduga peninggalan Kerajaan Sriwijaya ditemukan di pemakaman Sabokingking,
Palembang. Batu ini mirip bagian puncak bangunan candi atau stupa. Batu
berbentuk segi empat, berukuran 74 cm x 74 cm x 26 cm itu dalam posisi empat
tingkat. Setiap sudutnya terdapat lubang sedalam 5 cm. Batu ini ditemukan
sejumlah pekerja yang tengah merenovasi pemakaman Sabokingking, makam leluhur
Kerajaan Palembang (kerajaan sebelum Kesultanan Palembang Darussalam) di Sungai
Buah, Ilir Timur II, Palembang. Batu tersebut boleh diangkat, tapi tidak boleh
dibawa keluar dari makam dan harus diletakan di dekat makam Panglima Kiai Kibagus
Abdurrachman.
Sementara sampai hari ini, belum ada dari pihak pemerintah yang mendatangi Pemakaman
Sementara sampai hari ini, belum ada dari pihak pemerintah yang mendatangi Pemakaman
Sabokingking. Menurut Madinah, Walikota Palembang Eddy
Santana Putra saat ini tengah berada di luar kota. Makam Sabokingking merupakan
makam tertua para raja atau pangeran di Palembang. Di makam ini disemayamkan
Pangeran Sido Ing Kenayan (1622-1630), Sido Ing Pasaeran atau Jamaluddin
Mangkurat I (1630-1652), Ratu Sinuhun-penulis kitab Simbur Cahaya-serta imam
kubur Al Habib Al Arif Billah Umar bin Muhammad Al Idrus bin Shahab, serta
Panglima Kiai Kibagus Abdurrachman.
Kompleks
Dilalui
Kapal Besar, Tempat Pertemuan Wali Serta Raja, Cukup banyak komplek pemakaman
raja Palembang. Salah satu yang tertua dan cukup unik, komplek pemakaman
Sabokingking, di kawasan I Ilir, Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur (IT) II. Dari
letaknya yang dikelilingi sungai, konon sebelum menjadi areal pemakaman, tempat
ini merupakan tempat pertemuan. Para ulama serta raja Palembang. Wajar jika
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Palembang menjadikan areal pemakaman
Sabokingking menjadi objek wisata. Dari letaknya saja termasuk unik. Kawasan ini
dikeliling perairan sungai. Yakni anak sungai Musi, sungai Buah. Airnya pun
hingga kini masih terjaga. Terlihat jernih, berbeda dengan anak-anak sungai
Musi lain yang kebanyakan menghitam dan menimbulkan bau tidak sedap akibat
sampah buangan masyarakat.
Keterangan
juru kunci makam Sabokingking sebelum dinamakan dengan Sabokingking, nama
tempat ini Istono Sobo. Yang berarti tempat pertemuan. Mereka yang sering
melakukan pertemuan adalah ulama dan para wali. Nama Istono Sobo berganti
menjadi menjadi Sabokingking setelah para raja kerajaan Palembang ikut dalam
pertemuan tersebut. Para ulama serta raja itu pergi ke Sabokingking dengan
menggunakan kapal-kapal besar. Dilihat dari keadaan sungai Buah yang
mengelilingi areal pemakaman saat ini, sulit dipercaya jika kapal-kapal besar
dapat melalui sungai tersebut. Pada abad ke 17, saat tempat tersebut digunakan
sebagai tempat pertemuan, sungai Buah masih lebar dan dalam. Bisa jadi, karena
sejak dulu Palembang mendapat julukan Venesia dari Timur karena ratusan anak
sungai Musi yang ada. Sehingga, para ulama berasal dari Yaman, Persia termasuk
para raja yang istananya kala itu berada di kawasan PT Pusri dapat merapatkan
kapal. Era Ratu Sinuhun, Ciptakan UU Simbur Cahaya. Di dalam serta luar
bangunan komplek, terdapat 41 makam. Di dalam, makam utamanya ialah makam
Pangeran Ing Kenayan bersama istrinya Ratu Sinuhun serta Habib Muhammad Nuh
yang merupakan guru besar dari Yaman dan menjadi penasehat kerajaan.
Makam
lain, berada di tingkat bawah para hulubalang serta panglima Abdurahman. Nama
yang satu ini, menurut Ujang selain sosok panglima perang juga merupakan ulama
besar yang menyebarkan agama Islam di Palembang. Pangeran Ing Kenayan serta
Ratu Sinuhun sendiri berkuasa pada tahun 1622. Dilihat dari silsilah, termpampang
di luar makam, antara Pangeran Ing Kenayan serta Ratu Sinuhun berada di satu
garis keturunan. Mereka masih keturunan Ki Gede Ing Suro. Ayah Ki Gede Ing Suro
sendiri merupakan Sido Ing Lautan. Seorang bangsawan Jawa yang datang bersama
pengikutnya ke Palembang pada abad ke 16. Kemudian ia digantikan oleh putranya
yang bernama Ki Gede Ing Suro pada tahun 1552 dan mendirikan Kerajaan
Palembang. Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun sendiri, diyakini sebagai era
diciptakanya UU Simbur Cahaya. Bahkan, Ratu Sinuhun inilah dikatakan sebagai
pencipta UU tersebut. Yang mengatur masalah adat istiadat di Sumsel. Berbagai
masalah diatur dalam UU ini. Seperti adat bujang gadis dan perkawinan, marga
dan aturan kaum, aturan dusun dan berladang, masalah pajak, serta hukuman. Pada
masa penjajahan Belanda hingga kini pun, UU Simbur Cahaya masih digunakan. Ratu
Sinuhun sendiri kemudian dimakamkan di dekat suaminya, Pangeran Ing Kenayan
yang lebih dulu meninggal. Setelah diikuti para pengikutnya.
Hingga
kini banyak masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan ke pemakaman ini.
Untuk berziarah dan berdoa, meminta kepada Allah SWT melalui para ulama ini.
Inilah yang menyebabkan masyarakat setempat terlihat banyak berjualan kembang
untuk berziarah. Pengunjung lebih banyak pada Maulid Nabi dan bulan Suro.
No comments:
Post a Comment