Museum
ini dibangun pada tahun 1877 dengan arsitektur tradisional Palembang di atas
area seluas 23.565 meter persegi dan diresmikan pada tanggal 5 November 1984.
Pada mulanya museum ini bernama Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan,
selanjutnya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1223/1999
tanggal 4 April 1990. Museum ini diberi nama Museum Negeri Propinsi Sumatera
Selatan “Bala Putra Dewa”. Nama Bala Putra berasal dari nama seorang raja
Sriwijaya yang memerintah pada abad VIII-IX yang mencapai kerajaan maritime. Di
museum ini terdapat koleksi yang menggambarkan corak ragam kebudayaan dan alam
Sumatera Selatan. Lokasinya terdiri berbagai benda histrografi, etnografi,
feologi, keramik, teknologi modern, seni rupa, flora dan fauna serta geologi.
Museum
Balaputradewa terletak di Km 6,5 tepatnya di Jl. Srijaya Negara I No. 288,
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Lokasi museum ini dibeli oleh Gubernur
Sumsel pada tahun 1976 untuk dijadikan museum. Museum Balaputradewa
dibangun pada tahun 1978 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 5 November
1984. Museum ini terletak di areal seluas 23.565 meter persegi.
Design arsitektur bangunan museum terinpirasi dari bangunan tradisional
Palembang. Awalnya museum ini bernama Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan
namun setelah keputusan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1223/1999
tanggal 4 April 1990 nama museum diganti menjadi Museum Negeri Sumatera Selatan
Balaputradewa.
Museum Balaputradewa memiliki sekitar 3580 buah koleksi yang terdiri dari
barang-barang tradisional Palembang, binatang awetan dari berbagai daerah di
Sumatera Selatan, beberapa miniature rumah pedalaman, replica prasasti dari
arca kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang, batu-batu ukir raksasa dari
jaman Megalitikum, dan masih banyak lagi.
Koleksi di Museum Balaputradewa dibagi menjadi 10 macam kategori yaitu
histografi atau historika (cerita-cerita), etnografi, feologi, keramik,
alat-alat teknologi modern, seni rupa (berupa ukiran), flora fauna (biologika)
dan geologi serta terdapat rumah limas juga rumah Ulu Ali.
Koleksi-koleksi di Museum Balaputradewa ditempatkan pada 3 buah ruang pameran
yang dikelompokan menjadi ruang pamer zaman prasejarah, kesultanan Palembang
Darussalam dan masa perang kemerdekaan serta tambahan Rumah Limas
(rumah/bangunan khas Palembang).
Balaputradewa sendiri adalah nama seorang raja dari Kerajaan Sriwijaya.
Balaputradewa memerintah pada abad VIII-IX masehi. Balaputradewa adalah
raja yang paling terkenal dari Kerajaan Sriwijaya karena di masa pemerintahan
beliaulah Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya sebagai sebuah
Kerajaan Maritime yang berkuasa hampir diseluruh Nusantara hingga mencapai
Thailand, India, Filipina dan China.
Memasuki pintu depan museum Balaputradewa kita akan langsung disuguhi dengan
gambar atau relief kehidupan masyarakat Palembang yang dipanjang persis di
depan dinding ruang masuk museum. Relief kehidupan masyarakat Palembang
tersebut menceritakan ada putri Palembang sedang menari Gending Sriwijaya.
Yaitu tarian khas Palembang yang
sering ditampilkan untuk menyambut tamu, tari Gending Sriwijaya sendiri pertama
kali diperkenalkan pada 12 Agustus 1945. Kemudian pada relief ada pula
rumah Bari yaitu rumah lama khas Palembang. Ada pula gambar rumah Limas
yaitu rumah adat Palembang dimana di atasnya ada ornament tanduk kambing.
Digambarkan pula pada relief tersebut orang yang sedang bertenun songket.
Lalu ada juga sungai musi yaitu sarana transportasi utama di Palembang.
Di gambarkan juga Jembatan Ampera yang dibangun oelh bantuan Jepang tahun 1963
selesai 1965, jembatan Ampera sendiri memiliki panjang 1717 meter. Dari
gambar relief tersebut diceritakan pula bahwa dahulu di Palembang terdapat
banyak sekali sungai, diperkirakan di Palembang dahulu terdapat 117 Sungai tapi
sekarang hanya tinggal 17 sungai yang masih mengalir, oleh karena itulah
Belanda member julukan pada Palembang sebagai Venesia dari Timur Jauh.
Ternyata dari gambar relief juga menceritakan bahwa dahulu Palembang adalah
tempat menambang emas. Lalu dari gambar relief membahas karena Palembang
banyak terdapat rawa sehingga membuat rakyatnya membuat rumah panggung agar
bisa tinggal di atas rawa. Dan relief gambar juga membahas dahulu wanita
Palembang tidak memakai selendang melainkan memakai Tudung Saji.
Kebudayaan Palembang mengenal alat-alat yang digunakan saat melamar yaitu sena,
nampar, bakul kecil dan bakul besar. Keseniaan Palembang memiliki
kemiripan dengan Arab. Sedangkan songket memiliki makna yang berbeda-beda
yaitu songket yang memiliki kekhasan mirip china dinamakan Bunga Cina dan
songket yang memiliki kekhasan mirip arab dinamakan Bunga Pacik. Songet
yang asli biasanya terbuat dari benang Masjanup dan memiliki nilai seni tinggi
dan harganya mahal. Dan pakaian pengantin khas Palembang banyak dibuat di
daerah Tanjung Baru.
Di dalam museum Balaputradewa juga terdapat peninggalan yang berasal dari alam
yaitu: 1) gading gaja yaitu tulang gigi seri bagian atas pada gaja yang
memanjang menjadi taring, ditemukan di Pulau Bangka dimana diperkirakan fosil
tersebut sudah berumur lebih dari 1000 tahun; 2) Kayu sungkai yaitu sisa bahan
organic dari kayu sungkai yang terawetkan secara alami, kayu tersebut banyak
tumbuh di daerah OKU dimana umurnya diperkirakan lebih tua dari masa
Holosen. Lalu ada pulau pengetahuan tentang batu atau bahan-bahan kimia
seperti: 1) Cassiterte (SnO2) yaitu batu timah; 2) Hematite (Fe2O3) yaitu
mineral pada besi merah; 3) Monazite (Xenotime) yaitu bahan tambang; dan 4)
Lumite (Ce, Le, T, Th).
Terdapat pula tumbuh-tumbuhan yang banyak tumbuh di Sumsel yaitu: 1) Nanas
(Ananascomosus) yaitu tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan; 2) Tembesu
(Fagrae spp.) yaitu pohon yang tumbuh liar dan banyak hidup di Sumatera dan
Malaysia; 3) Kopi (coffea) dimana yang banyak tumbuh di Sumsel adalah kopi
arabika dan robusta; 4) Lada (Pipesnigrum) yaitu termasuk dalam suku puperaceae
dimana biji lada memiliki kandungan alkaloid paperin dari piperidin yang
berguna bagi pembuatan heliotropin.
Terdapat 5 buah relpika prasasti yang
pernah ditemukan di wilayah Sumsel yang berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya
yaitu: 1) Prasasti Kedukan Bukit (1920); 2) Prasasti Talang Tuo; 3) Prasasti
Kota Kapur; 4) Prasasti Telaga Batu; 5) Prasasti Boombaru.
Prasasti dari kerajaan Sriwijaya ada yang mencerikan raja yang membawa pasukan
dan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Ada pula yang menceritakan pelayan dari yang
tertinggi sampai terendah harus berbakti pada raja (Telaga Batu). Nama
prasasti dari kerajaan Sriwijaya biasanya memakan huruf palawa dan bahasa
Melayu Kuno.
Ruang pamer 1 secara keseluruhan menceritakan tentang masa kehidupan di jaman
pra sejarah (kehidupan manusia purba). Di ruang pamer 1 telihat berbagai
lukisan dan berbagai situs peninggalan hewan-hewan purba yang disebut
Vitron. Kemudian ada pula yang menceritakan manusia purba pertama di
pulau Jawa yaitu Pithecanthropus erectus yaitu manusia purba
yang berjalan tegak ditemukan oleh Eugene Dubois. Terdapat pula beraneka
ragam binatang yang terdapat di daerah Sumsel yang telah diawetkan dengan cara
membuang isi dalam tubuhnya kemudian diisi dengan kapas seperti: buaya,
beruang; macan; beruk; semuni; biawak; kuskus; tringgiling dan masih banyak
lagi. Terdapat pula kerangka masuia purba yang ditemukan di gua harimau
(OKU). Ada pula miniature gua putrid yang merupakan situs tempat ditemukannya
kerangka manusia pra sejarah. Selain gua putrid ternyata gua harimau
adalah situs tempat ditemukannya masuia purba dengan jumlah yang terbanyak dan
terlengkap se Indonesia bahkan Asia Tenggara, di Gua Harimau pula ditemukan
luksian yang diperkirakan dari masa pra sejarah (purba) dimana dengan
ditemukannya lukisan gua jaman pra sejarah di Gua Harimau menjadikan tempat
tesebut sebagai gua kedua atau yang pertama di Sumatera tempat ditemukannya
lukisan gua dari jaman purba setelah dua di daerah Sulawesi.
Selain itu di ruang pamer 1 juga dipamerkan batu-batu raksasa dari jaman
Megalitikum, batu-batu megalit tersebut kebanyakan ditemukan di daerah daataran
tinggi Basemah (Pasemah) yaitu Bengkulu, Muaraenim, Lahat dan Pagaralam.
Batu-batu megalitikum tersebut membuktikan bahwa dahulu teknologi masa
lalu/peradaban nenek moyang kita sudah sangat maju dan berkembang tidak kalah
dengan bangsa lain sehingga kita sebagai generasi penerusnya harus bangga
dengan apa yang telah nenek moyang kita tinggalkan untuk kita maka dari itu
kita harus senantiasa merawat dan menghargainya.
Di bagian lain luar ruang pamer menampilkan jenis arca yang diperoleh dari
daerah Pagaralam sebanyak 8 buah yang berasal dari jaman pra sejarah sekitar
2000 tahun yang lalu. Terdapat sebuah arca berbentuk patung kepala Budha
yang berasal dari daerah Pagaralam, terdapat juga arca berbentuk lembuh yang
dikeraskan dimana hewan ini dianggap sebagai kendaraan Dewa Shiwa, kemudian
terdapat sebuah patung berupa wadah panjang yang digunakan untuk meletakkan
tulang manusia ataupun tulang-tulang penduduk setempat yang telah mati dimana
menurut sumber cara tersebut dilakukan oleh para penganut Animisme pada masa
dahulu kalah, selanjutnya terdapat patung gajah yang dinamakan Ganesha berupa
gajah menutup kedua telinganya dimana patung ini memiliki bobot 5 ton yang di
dapatkan di daerah Pagaralam dan terakhir terdapat sebuah patung anak muda yang
sedang menaiki seekor binatang. Adapun secara keseluruhan arca-arca Agama
Budha yang terdapat di Museum Balaputradewa adalah:
1.
Prasasti Arca Nanda
2.
Arca Makara
3.
Arca Perwujudan 1
4.
Arca Perwujudan 2
5.
Arca Perwujudan 3
6.
Arca Siwamahaguru
7.
Fragmen prasasti batu-batu Bumi Ayu
Di ruang pamer ke 2 menyajikan peninggalan arca-arca dari masa kerajaan
Sriwijaya hingga peninggalan dari kerajaan Palembang Darussalam. Dari
masa kerajaan Sriwijaya terdapat replica prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada
29 Desember 1920 yang mengisahkan tentang seorang raja yang membawa pasukan
sebanyak 2 laksa atau sekitar 2000 orang. Terdapat juga replica prasasti
Telaga Batu ditemukan pada tahun 1935 yang di atasnya terdapat 7 buah kepala
ular kobra. Kemudian ada pula replica prasasti Talang Tuo ditemukan pada
17 Desember 1920 yang mengisahkan bahwa sang raja membangun sebuah taman yang
bernama Sedi Kosetr. Masih banyak lagi prasasti-prasasti yang ditemukan
di Pulau Bangka pada tahun 1920an. Di museum ini juga terdapat prasasti
Boom Baru ditemukan 1950 yang bertuliskan huruf palawa bahasa Sangsekerta.
Sangat menarik melihat prasasti-prasasti tersebut karena prasasti itu adalah
salah satu bukti nyata bahwa dahulu memang pernah ada Kerahaan Sriwijaya yang
tersohor itu dan lewat prasasti ini kita dapat mengetahui sepenggal kisah yang
disampaikan dari masa kerjayaan Sriwiaya dahulu.
Di sudut lain dari ruang pamer 2 terdapat berbagai arca peninggalan dari jaman
Agama Hindu yang ditemukan di Bumi Ayu seperti arca Awalokiteswara, lalu
terdapat sebuah wadah guci yang mengisahkan bahwa manusia terdiri dari 4 unsur
yaitu api, air, udara dan tanah dimana pada masa lalu tubuh manusia yang sudah
meninggal dibakar dan abunya dimasukan ke dalam guci tersebut yang diberi nama
Bua Bua. Di sisi lain terdapat lukisan suasana Palembang pada masa
Kerajaan Sriwijaya saat berjaya di abad ke 7 Masehi sampai pertengahan abad 14
Masehi. Di saat masa kehancuran Sriwijaya, kota Palembang menjadi tempat
atau kota tak bertuan maka datanglah 4 orang perompak dari Cina yang dipimpin
oleh Lio Tauming namun saat itu walaupun dengan kekuatan seadanya tetap dapat
digempur oleh Pangeran Ario Damar untuk mempertahankan kota Palembang dan
akhirnya berhasil. Ario Damar adalah seorang pangeran yang berasal dari
Majahpahit. Pangeran Ario Damar terkenal dengan nama Raden Patah.
Raden Patah ketika mengetahui ayahnya menjadi seorang raja di Majahpahit
membuat ia berniat kembali ke Majahpahit untuk memberitahukan kepada ayahnya
tentang keadaan di Sriwijaya namun menjadi sia-sia karena ayahnya telah
meninggal dunia terlebih dahulu kemudian Raden Patah bertemu dengan Wali
Songo. Pada masa pendudukan Belanda di Palembang, daerah yang dahulu
dipertahankan oleh Raden Patah dari serangan perompak Cina dibumi hanguskan
oleh Belanda, daerah tersebut dahulu di masa Kesultanan Palembang Darussalam
dikenal dengan nama Kuto Gawang dan sekarang menjadi Pabrik Pupuk
Sriwijaya. Adapun peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan
Palembang Darussalam di Palembang adalah:
1.
Manik-manik
2.
Umpak batu
3.
Arca tablet tanah liat
4.
Kapak arca Awaloketiswara
5.
Fregmen acra perunggu
6.
Kaki arca
7.
Dan lukisan abad 17 yang mengisahkan
perang antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan Tentara Kolonial Belanda
di depan Keraton Kuto Gawang (sekarang Pabrik Pupuk Sriwijaya)
Gambar
15. Arca Awalokiteswara. Arca ini aslinya terbuat dari batuan andesit,
ditemukan di daerah Musi Ulu Palembang. Arca digambarkan dalam posisi berdiri
di atas asana tetapi sudah hilang dan jari-jari kaki lurus ke depan. Mempunyai
empat buah tangan, tiga di antaranya telah patah, yang tersisa hanya tangan
kiri belakang membawa sesuatu yang tidak jelas. Menggunakan jubah, rambut ikal
keriting, mata setengah tertutup, hidung mancung, mulut seolah tersenyum dan
lubang telinga pangan. Perhiasan berupa upawita lebar yang berbentuk pita di
atas bahunya. Ikat perut berbentuk gasper juga berbentuk pita. Mahkota yang
dikenakan diikat di kepala bagian belakang dan pada mahkota tersebut terdapat
arca Amithaba dalam posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian punggung arca
ini terdapat prasasti pendek dengan bahasa Sansekerta dan huruf jawa kuno,
berbunyi: “accarya,, dan seterusnya”. Arca ini diperkirakan berasal dari abad 9
Masehi.
Gambar
16. Diorama ini menggambarkan Keraton Kuto Gawang berdasarkan hasil
lukisan sketsa Joan van der Laen yang dibuat tahun 1659. Keratin dilukiskan
menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuk melalui Sungai
Rengas. Disebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe dan disebelah
baratnya berbatasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tampak Sungai
Taligawe, Sungai Rengas dan Sungai Buah tampak terus ke utara dan satu sama
lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah kayu besi dan kayu
unglen. Ditengah benteng tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di
sebelah barat Sungai Rengas. Keraton Kuto Gawang ini didirikan oelh Ki Gede ing
Suro pada awal abad ke 17 Masehi. Sekarang lokasi eks Keraton Kuto Gawang telah
berdiri Pabrik Pupuk Sriwijaya.
Peninggalan kebudayaan dari masa kesultanan Palembang Darussalam, disalah satu
sisi diruang pamer 2 memajang lukisan seseorang bernama Sultan Mahmud
Badaruddin atau Joyo Wikromo atau Sultan Mahmud Badaruddin I pendiri daerah di
pinggir Sungai Musi yang sekarang dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak dan
terlihat pula gambar Masjid Agung Palembang yang dibangun kurang lebih selama
10 tahun dari tahun 1738 sampai 1746.
Ruang pamer 3 menampilkan kumpulan
koleksi-koleksi peninggalan pada masa perang mempertahankan kemerdekaan.
Di ruang pamer masa kemerdekaan banyak terdapat benda-benda dari masa kolonial
Belanda saat menjajah di wilayah Palembang dan Sumatera Selatan. Di
anatarnya ada uang atau koin mata uang dari jaman Belanda, Jepang hingga awal
kemerdekaan Indonesia. Kemudian ada benda-benda kuno seperti radio,
piringan hitam, pedang, pistol, pakaian, topi, meriam dan masih banyak lagi.
Kemudian di bagian paling belakang dari Museum Balaputradewa
kita dapat singgah ke Rumah Limas. Rumah Limas di Museum Balaputradewa
adalah rumah yang dahulu dimiliki oleh orang arab bernama Sarip Abdurahman Al
Habsi (Arif) yang diangkat oleh Belanda menjadi seorang Kapitan. Rumah
Limas tersebut dibangun pada tahun 1836 Masehi lalu kemudian dijual kepada
Pangeran Betung. Rumah Limas tersebut masih sangat lengkap dengan
berbagai macam perabotan yang khas Palembang seperti kursi, lemari, lampu-lampu
gantung, dan lainnya. Rumah Limas tersebut terdiri dari 4 buah lantai
atau biasa disebut berkilat. Rumah Limas tersebut sudah 3 kali
berpindah. Langit-langit Rumah Limas dihiasi dengan lampu-lampu stolop
dengan menggunakan lilin dan air sehingga terlihat efek pelangi. Terdapat
tanduk rusa sebagai gantungan pakaian, lemari gerobok leket, pintu yang tidak
menggunakan engsel dan umumnya Rumah Limas menghadap kea rah Sungai.
Selain Rumah Limas terdapat pula Rumah Bergajah yaitu tempat orang-orang
terhormat. Lalu terdapat Rumah Hulu/Rumah Anti Gempa yaitu rumah yang
tiangnya tidak ditanam namun hanya menggunakan batu yang dijadikan sebagai
penyanggah dan lantainya menggunakan bambu. Rumah ini memiliki bobot yang
ringan, dinding yang bisa dibuka dan tidak memiliki jendela. Rumah ini
sendiri ditemukan di daerah Asam Kelat.
Terdapat pula Gedung 3 Manusia dan Lingkungannya. Pada gedung tersebut
terdapat berbagai jenis alat transportasi seperti Liu-liu, gerobak, rakit dan
perahu serta ada Jali yaitu kelombu yang berbentu burung-burungan dimana
biasanya joli-joli ini diberikan untuk pengantin wanita sebagai lamaran juga
ditambah dengan sena/nampa dan songket. Di sini juga terlihat keranda
berwarna hijau, ada juga patung seorang ibu tua yang sedang menganyam songket
dan songket tersebut hanya boleh dipakai oelh seorang wanita yang sudah
mempunyai suami. Hasil dari tenunan patung ibu tua itu terpajang
disebelah patung tersebut diantaranya adalah songket bunga pacar, songket naga,
songket beraung dan berbagai aksesoris pengantin khas Sumsel seperti kalung dan
gelang dari Tanjung Batu, Batik Pale, Batik Supri dan lainnya. Kemudian
yang terakhir di dalam Rumah Limas juga terdapat 7 keranda orang meninggal
(tudung) berwarna hitam.
Tambahan, di Museum Balaputradewa sekarang terdapat ruang khusus pertukaran
budaya antara Kesultanan Malaka (Malaysia) dan Palembang (Indonesia).
Ruang pamer (Galeri) kebudayaan Malaka ini baru dibuka sekitar tahun 2011 saat
Sultan Malaka berkunjung ke Palembang. Ruang pamer kebudayaan Malaka
didedikasikan kepada masyarakat Palembang karena adanya keterikatan batin dan
budaya antara masyarakat Malaka dan Palembang. Sultan Iskandar Syah yang
lebih dikenal dengan nama Parameswara di Palembang merupakan sultan pertama dan
pendiri kerajaan Malaka, Sultan Iskandar Syah atau Parameswara adalah orang
Palembang asli yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Sriwijaya, saat
Sriwijaya hancur pada abad ke 14 Masehi dan akan diduduki oleh kerajaan
Majahpahit beliau (Parameswara) melarikan diri ke Semenanjung Malaka (Malaya),
kemudian di Malaka Parameswara menikah dengan penduduk setempat lalu masuk
Islam dan berganti nama menjadi Iskandar Syah, Iskandar Syah lalu mendirikan
sebuah kerajaan di tanah barunya tersebut dengan nama Kesutanan Malaka.
Itulah sedikit kisah dari berdirinya Kerajaan Malaka di Semenanjung Malaya,
oleh alasan itulah mengapa Sultan Malaka berkunjung ke Palembang lalu kemudian
membuka Galeri Kebudayaan Malaka di Museum Balaputradewa agar para generasi
muda di Palembang dan di Malaka sadar dan mengetahui bahwa antar kedua tempat
tersebut memiliki ikatan batin dan budaya yang sangat erat dari diri leluhur
mereka yaitu sang raja terakhir Sriwijaya dan raja pertama di Malaka “Sang
Mulia Baginda Sultan Iskandar Syah atau Sri Baginda Parameswara”
Secara keseluruhan koleksi Museum Balaputradewa terdiri dari
prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya, benda-benda peninggalan Kerajaan
Sriwijaya, benda-benda peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, sejarah
perang kemerdekaan di Sumatera Selatan dan benda-benda kebudayaam dari Sumatera
Selatan. Dari koleksi-koleksi yang ada di Museum Balaputradewa
memperlihatkan bahwa Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat Agama Budha yang
terkemuka di dunia pada masa jayanya. Begitu banyak arca yang
menggambarkan Budha yang ditemukan di provinsi Sumatera Selatan yang kemudian
menjadi bagian koleksi Museum Balaputradewa. Di bagian belakang museum
terdapat bangunan khas Palembang yaitu Rumah Limas. Di bagian samping
ruang pamer terdapat patung-patung yang mengambarkan budha dari berbagai situs
dan diduga merupakan situs Kerajaan Sriwijaya. Salah satu patung atau
arca yang paling terkenal dan sangat menarik perhatian pengunjung adalah patung
orang menaiki gajah yang merupakan peninggalan era megalitikum di Sumatera
Selatan tepatnya dari dataran tinggi Basemah/Pasemah (Pagaralam, Lahat, Oku,
Bengkulu/curup). Masyarakat setempat menganggap bahwa patung orang menunggang
gajah tersebut adalah salah satu kutukan yang benar-benar terjadi dari kisah
legenda masyarakat setempat yaitu Legenda Si Pahit Lidah. Legenda Si
Pahit Lidah mengisahkan bahwa siapa saja yang dikutuk olehnya akan menjadi
batu.
No comments:
Post a Comment