'""'>
sejarah kawah tekurep
Kawah
tekurep merupakan lokasi pemakaman keluarga Kerajaan Palembang Darussalam.
Terletak dikelurahan 3 Ilir, Boom Baru, kota Palembang. Disebut kawah tekurep, karena
bentuk atap makam utama menyerupai cawan terbalik, atau telungkup. Dalam bahasa
setempat kemudian disebut kawah tekurep.
Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 oleh sultan Mahmud Badaruddin I Jayo
Wikramo, raja kedua kesultanan Palembang Darussalam, yang memerintah pada tahun
1724-1750. Kemudian dilanjutkan pembangunan Gubah Tengah di areal pemakaman
oleh Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo.
Sultan Mahmud Badaruddin dikenal sebagai pemimpin yang arif dan adil, dan juga
seorang ulama yang hafal Al-Qur'an. Pada masa pemerintahannya, sultan sering
mengadakan musyawarah bersama Habaib (kumpulan para ulama keturunan Rasulullah
SAW). Sebagaimana Tradisi Kesultanan, Sultan Mahmud Badaruddin I didampingi
oleh seorang guru besar sebagai penasihat kerajaan dalam membangun kota
Palembang dan sekitarnya. Beliau sendiri memiliki guru agama dari kalangan
Habaib. Bahkan hampir semua putrinya dinikahkan dengan Habaib.
Diantaranya adalah Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Al-Habib Abdurrahman
bin Hamid yang merupakan jajaran ulama besar Palembang Darussalam. Al-Habib
Abdullah bin Idrus Shahab adalah Ulama kharismatik, santun dan berakhlak Mulia.
Beliau begitu disegani oleh siapapun. Bahkan di tanah kelahirannya, Hadramaut,
beliau mendapat penghormatan melebihi para Habib disana. Tak heran Sultan
Mahmud Badaruddin mengangkatnya menjadi pejabat penting Kesultanan.
Pada masa kepemimpinannya, Sultan Mahmud Badaruddin I berupaya menyatukan
antara negara dan agama. Konsep negara-agama ditransformasikan kedalam perilaku
pemerintahan yang berpegang teguh terhadap komitmen pembangunan masyarakat yang
adil dan sejahtera. Sultan memperkuatnya dalam bentuk simbol sebuah masjid yang
didirikan di halaman Keraton. Posisi Masjid dihalaman Keraton tidak lazim
sebagaimana masjid-masjid keraton lainnya yang berada di belakang atau terpisah
agak berjauhan dari Istana. Beliau ingin menegaskan bahwa dirinya tidak
membangun kekuasaan semata, tetapi juga melakukan transformasi sosio-kultural
kerajaan yang sebelumnya sangat kental dengan nilai-nilai mistik. Kehadiran
masjid ini menjadi peringatan bagi seluruh Sultan setelah beliau. Bahwa
nilai-nilai Islam tidak boleh diabaikan selama menjalankan roda pemerintahan di
Palembang Darussalam. Masjid inilah yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Palembang.
Setelah wafat, Sultan Mahmud Badaruddin kemudian dimakamkan di kawah tengkurep
bersama para guru, kerabat dan keluarganya.
Palembang bukan hanya dikenal dengan
sejarah panjang Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di Nusantara pada abad VI
hingga abad XIII saja, namun kota yang dialiri Sungai Musi ini memiliki cerita
lain tentang Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini berdiri pada tahun
1675 sebagai sebuah kerajaan Islam yang dipimpin oleh Sultan Abdurrahman
(1659-1706) di awal pemerintahannya. Akan tetapi kekuasaan kolonial Belanda
menghapus kesultanan ini di periode 7 Oktober 1823.
Keberadaan kesultanan ini masih
tetap dirasakan hingga kini. Kompleks pemakaman kesultanan menjadi bukti bahwa
nilai-nilai Islam begitu kuat di masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Tidak sulit untuk menemukan kompleks
pemakaman ini, walaupun letaknya terlindungi kompleks pergudangan peti kemas
Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan III Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Dari
pinggiran jalan raya, kita harus berjalan sekitar 200 meter untuk dapat melihat
langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih memilih dari tepian Sungai Musi,
maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100 meter.
Masyarakat Palembang mengenal
kompleks pemakaman ini dengan sebutan Kawah Tekurep. Nama tersebut berasal dari
bentuk atap bangunan utama pemakaman yang berbentuk cungkup (kubah) melengkung
berwarna hijau. Jika diperhatikan dengan seksama, maka bentuknya menyerupai
wajan yang terbalik atau dalam bahasa lokalnya kawah tekurep. Berdasarkan
informasi dari kuncen (juru kunci) makam, pemakaman ini dibangun tahun 1728
atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikramo. Kemudian dilanjutkan
pembangunan Gubah Tengah di areal pemakaman oleh Sultan Ahmad Najamuddin I Adi
Kesumo. Keunikan arsitektur bangunan makam menjadi keindahan yang berhasil
menggabungkan gaya arsitektur Melayu, India, dan China.
Untuk bisa memasuki kompleks
pemakaman, kita harus melewati gerbang utama yang letaknya di sisi selatan atau
bagian yang berhadapan langsung dengan Sungai Musi. Setelah melewati gapura,
maka di depan bangunan makam kita bisa melihat silsilah keluarga Kesultanan
Palembang Darussalam yang terukir di batu marmer.
Di dalam kompleks pemakaman terdapat
empat cungkup. Tiga cungkup diperuntukkan bagi makam para sultan dan satu
cungkup untuk putra-putri sultan, para pejabat dan hulubalang. Di cungkup
pertama terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin I (yang wafat di tahun 1756),
Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah. Kemudian ada makam
Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia), ada juga makam
Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari China-Melayu.
Selain itu ada juga makam Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari I Ilir
(kini Guguk Jero Pager Kota Palembang Lamo), dan makam Imam Sayyid Idrus
Al-Idrus dari Yaman yang tak lain guru dari Sultan.
Cungkup kedua, kita dapat melihat
makam Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755), di sebelahnya terdapat makam Ratu
Mudo (istri dari Pangeran Kamuk), dan makam Sayyid Yusuf Al-Angkawi (imam
sultan). Sementara itu, makam Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776), makam
Masayu Dalem (istri Najamuddin), dan makam Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah
(Imam Sultan dari Yaman), berada di cungkup ketiga. Adapun cungkup keempat
terdapat makam Sultan Muhammadi Bahauddin (wafat tahun 1803), makam Ratu Agung
(istri Bahauddin), makam Datuk Murni Hadad (imam sultan dari Arab Saudi), dan
beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya. Selain keempat cungkup
tersebut, masih ada beberapa makam seperti makam Susuhunan Husin Diauddin, yang
wafat dalam pembuangan Belanda di Jakarta, 4 Juli 1826. Semula, Husin Diauddin
dimakamkan di Krukut tetapi kemudian dipindahkan ke Palembang.
Kompleks pemakaman ini ternyata
masih tetap terawat dan ramai dikunjungi. Biasanya mereka yang berkunjung
adalah wisatawan atau peziarah yang ingin melihat langsung kejayaan Kesultanan
Palembang Darussalam dari peninggalan makam-makam para tokoh penting di
kesultanan ini.
No comments:
Post a Comment